Hotline 24 Jam Proses Klaim Bengkel Rekanan
Tentang Herbalife
Google Yahoo
Kode Warna

Handry Satriago Sukses Pimpin GE dari Kursi Roda

KEKURANGAN anggota tubuh bagi setiap orang adalah ujian yang sangat berat, sehingga bisa saja orang tersebut mengalami depresi yang luar biasa dahsyat. Namun tidak bagi Handry Satriago, Presiden Direktur General Electric Indonesia.

Handry yang punya keterbatasan kepada kedua kakinya ternyata mampu melangkah jauh dari apa yang sanggup dibayangkan orang. Dirinya mampu mengatasi kekurangan tersebut dengan kelebihan yang dia miliki.

Pada usia 18 tahun, Handry didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening di tulang belakangnya. Saat itu Handry tidak menyangka bila dirinya akan duduk di kursi roda hingga bertahun-tahun. "Itu terjadi di tengah-tengah tahun kejayaanku," ungkap Handry kepada okezone beberapa waktu lalu.

Namun, semangat hidup dan dukungan lingkungan yang kuat mampu mengalahkan banyak persoalan yang dihadapi Handry. Dia berhasil menyelesaikan S-1 jurusan teknik bioindustrinya di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan IPK amat mengesankan. Selanjutnya dia berhasil menyelesaikan Magister Management Double Degree di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI)-Monash University, Australia, pada 1996 dalam waktu setahun lebih cepat dengan predikat cum laude.

Handry mengaku bila dirinya sangat peduli dengan dunia pendidikan sehingga dia memimpikan untuk kembali ke kampus untuk menjadi seorang dosen. Baginya, menjadi dosen merupakan hal yang mewah karena mengajarkan orang-orang untuk sukses ke depannya.

“Saya amat suka mengajar. Dulu saya mengajar di kelas-kelas setiap akhir pekan. Menjadi guru memberikan luxury yang tak ditemukan dalam profesi lain. Bayangkan, di sebuah kafe, ada yang datang memberi salam ‘Pak, saya dulu murid Anda, sekarang sudah jadi ini dan itu.’ It feels sooo..good, saya bisa senyum-senyum seharian,” ujar pria 42 tahun tersebut.

Dalam perjalanan hidupnya, seorang Handry ternyata pernah bermimpi menjadi jurnalis. Karena pada saat itu pengaruh media sangat kental. "Ikut karnaval, saya pakai rompi, bawa kamera, kayak wartawan, deh," kata pengagum Syahrir itu.

Selepas kuliah, dirinya direkrut sebuah perusahaan teknologi untuk mengurus majalah internal perusahaan. Tiga tahun menabung hasil kerjanya, Handry memutuskan untuk sekolah lagi di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia Business School , dan lulus cum laude dengan dua gelar master. Sambil kuliah, dia membuka usaha desain grafis dengan kawan-kawan dan saudaranya. Predikat itu membuatnya dibujuk pencari bakat dari General Electric untuk masuk ke perusahaan listrik tersebut. "Saya tolak. Ngapain? Saya punya bisnis sendiri, kok," tegasnya.

Maklum, saat itu bisnisnya sedang maju pesat. Sang pencari bakat pun pantang menyerah, sambil menerangkan segala macam fasilitas yang bisa didapatkannya. Iming-iming fasilitas dan perjalanan keluar negeri akhirnya membuat dirinya kepincut. Posisi pertamanya di perusahaan tersebut yakni menjadi Manajer Pengembangan Bisnis GE Indonesia. Dia mematok target menjadi Jack Welch, CEO GE.

Tiga belas tahun kemudian, saat melakukan business trip mengenai pembangkit listrik ke Vietnam , dia ditawari posisi strategis yakni menjadi Presiden GE Indonesia. Pria kelahiran Riau, 13 Juni 1969 itu pun pemimpin termuda sekaligus lulusan sekolah dalam negeri pertama yang menjadi bos di perusahaan raksasa asal Amerika Serikat (AS).

Menjadikan Abraham Lincoln sebagai inspirator, Handry menjadi orang yang tak gampang menyerah. Pada 1994, meski sedang menjalani kemoterapi karena kankernya menjalar ke pinggang, dia tetap tegar. "Saya selama ini dikasih jalan sama Dia."

Ditawari Jadi Bos

Ketika masih menjabat sebagai Manajer Pengembangan Bisnis General Electric (GE) Indonesia , ia dihubungi langsung oleh Presiden GE ASEAN Stuart Dean untuk menangani bisnis GE yang ada di Singapura. Kepercayaan tersebut tentunya tidak disia-siakan, tanpa pikir panjang dirinya terbang menuju Singapura dengan keaadan masih duduk di atas kursi roda. Hal tersebut lah yang membuat dia terbang ke markas GE di AS hingga akhirnya dinobatkan menjadi Presiden GE Indonesia. “Semua ditunjukkan Yang Di Atas," katanya merendah.

Tiga belas tahun berada di perusahaan energi AS itu, Handry menjadi seorang motivator dan pebisnis ulung. Hampir semua yang dipegangnya menjadi bisnis yang ditakuti oleh pesaingnya. Misalnya, di bisnis lighting (pencahayaan), dia menghasilkan USD6 juta dalam dua tahun kepemimpinannya. Sebelumnya, di GE tak ada yang melirik bidang itu, karena dianggap tak prospektif karena dikuasai Philips.

Putra tunggal pasangan Djahar Indra dan Yurnalis Indra itu akhirnya menyanggupi tantangan membuat lighting menjadi bisnis sendiri,  terpisah dari consumer goods. Hasilnya, antara lain bisa Anda lihat tata cahaya di Bandar Udara Ngurah Rai dan siraman cahaya di Candi Prambanan. Dia pun merintis ide bisnis menjual paket cahaya dengan kontrak jangka panjang dengan sejumlah pabrik besar dan kecil di bidang kimia, cat, dan tekstil. "Anda santai saja, tata cahaya efisien kami yang urus," ujarnya.

Sejak duduk di bangku SMA Labs School Rawamangun, sahabat salah satu sutradara terbaik negeri ini, Riri Riza ini begitu juga teman-teman sepermainannya memperlakukan Handry layaknya orang normal dengan pembicaraan yang tak pernah membuat Handry tersinggung dengan keadaannya. Ketika nonton teater bareng pun, mereka menggotong Handry untuk bisa memasuki gedung teater. Solidaritas dan perlakuan sama dengan orang normal membuat Handry merasa nyaman. "Teman-teman membuat saya percaya diri," katanya.

Di sisi lain, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjun bebas dari Rp2.500 menjadi Rp15 ribu, para pelanggannya di Glodok menolak barang-barang perusahaanya. Tak menyerah, Handry membujuk mereka membuat kontrak jangka panjang, menjual barang tersebut dengan separuh nilai tukar. Dengan cara itu, dia memotivasi tim yang terdiri atas orang-orang muda bahwa solusi bisa diperoleh di tengah kesulitan. Inilah praktek kepercayaan pemimpin dengan pengikutnya yang menjadi resep andalannya. (mrt) (rhs)

0 komentar:

Posting Komentar